Namaku Bimo, aku adalah salah satu mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang ada di bandung. Walaupun aku sakit, namun tidak menjadikan aku lemah dan tidak bersemangat untuk menggapai cita-citaku. Aku tetap menjalani aktivitas ku seperti biasa yaitu kuliah.
Kamis, 22 Februari 2018
Senin, 03 April 2017
Artikel Tokoh Pendidikan
KI HADJAR
DEWANTARA : SANG PELOPOR PERUBAHAN ORIENTASI PENDIDIKAN
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih
dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu
lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk
bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang
Belanda.
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2
Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara
dibesarkan di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40
tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti
nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, Ki Hadjar Dewantara tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.
Hal ini dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Ki Hadjar Dewantara
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan kemudian
melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran
sakit, sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.
Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan
di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, Ki
Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki
Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar
Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak
pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalism dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda.
Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan
November 1913, Ki Hadjar Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan
untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Salah satunya adalah
dengan menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku
Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut menjadi tulisan
terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda dimuat dalam
surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda
melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki
Hadjar Dewantara. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan
seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan yang bernada membela
Ki Hadjar Dewantara. Mengetahui hal ini, Belanda pun memutuskan untuk menjatuhi
hukuman pengasingan bagi keduanya. Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan
Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda
karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah
terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913
sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hadjar Dewantara
berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara
kembali ke tanah air.
Di tanah air Ki Hadjar Dewantara semakin mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia pun mendirikan sebuah perguruan
yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman
Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya,
sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Selama mencurahkan perhatian dalam
dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini
terus berlangsung hingga zaman Pendudukan Jepang.
Saat Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk untuk menjadi salah seorang
pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah
kemerdekaan Indonesia berhasil direbut dari tangan penjajah dan stabilitas
pemerintahan sudah terbentuk.
Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno
untuk menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara
mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas Gajah Mada.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa
itu, tepatnya pada tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di
Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional,
tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat
keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Ajarannya yakni tut wuri handayani (di belakang
memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) akan selalu
menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Hadjar
Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara.
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya
Ki Hadjar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting
serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan
dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.
Senin, 27 Maret 2017
Asal Mula Desa Marongge Sumedang
17 JULI 2009
Asal Usul Pelet Marongge Sumedang
Pelet Marongge memang dahsyat dan selalu diburu orang yang memerlukan. Pelet ini diyakini paling ampuh dalam memikat asmara lawan jenis. Ritual memperoleh pelet Marongge pun unik. Yakni dengan ziarah di makam Mbah Gabug, lalu berendam di Sungai Cilutung dan membuang pakaian dalam.
Ilmu pelet adalah ilmu yang sering diburu orang. Diantaranya oleh mereka yang sulit bertemu jodoh, usaha selalu rugi dan peruntungan negatif. Dan ilmu pelet Marongge, lebih dikenal sebagai pemikat asmara. Ilmu pelet ini didasar ilmu yang berasal dari Ajian Si Kukuk Mudik, milik Mbah Gabug yang terkenal pilih tanding.
Bila ditelusuri lebih jauh, Ajian Si Kukuk Mudik berasal dari legenda keramat Marongge. Marongge sendiri sebenarnya nama sebuah desa di Kecamatan Tomo, Kab Sumedang. Lokasinya di sebuah bukit yang berada di jalan raya Tolengas dan Cijeungjing, berbatasan dengan Kec. Kadipaten, Kab. Majalengka dan juga dekat bendungan Jatigede.
Menuju ke lokasi harus melalui jalan setapak yang cukup menanjak. Seratus meter kemudian terdapat kompleks pemakaman umum Desa Marongge. Di dalamnya terdapat tiga bangunan. Salah satunya paling dikeramatkan karena diyakini kuburan karuhun sebagai ujung dari asal-usul ilmu pelet Marongge. Tiada lain adalah makam Mbah Gabug, Mbah Stayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah.
Setiap hari selalu saja ada yang berziarah ke lokasi ini, kecuali Selasa. Peziarah tampak membludak bila malam Jumat kliwon tiba. Saat itulah ritual nyacap ajian ilmu pelet Marongge dilakukan. Terkadang, pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan suatu kali pernah mencapai seribu orang ketika Jumat kliwon bertepatan dengan bulan Maulud.
Mbah Gabug
Mbah Gabug adalah wanita ayu asal Mataram yang bermukim di Kampung Babakan, dekat Keramat Marongge sekarang. Di sanalah Mbah Gabung dahulu tinggal bersama tiga saudara wanitanya, Mbah Setayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah. Keempat bersaudara ini dianugerahi paras yang ayu. Bahkan kecantikan mereka terkenal ke penjuru negeri. Sehingga tidak sedikit raja, pangeran dan pemuda yang terpikat.
Namun, entah kenapa keempat gadis ayu rupawan ini senantiasa melajang. Dan itu pula yang mengundang rasa penasaran. Tersebutlah seorang raja bernama Gubangkala yang mengutus patih diiringi bala tentara untuk menemui dan melamar paksa Mbah Gabug. Tapi niat buruk itu tercium. Mbah Gabug lalu bersemadi dan mengerahkan segenap kesaktiannya.
Ketika rombongan tiba di gerbang dusun Babakan, mereka semua tertidur karena disirep Mbah Gabug. Tak berapa lama mereka dibangunkan kembali. Sang patih yang congkak, tak menyadari apa yang menimpa mereka dan pasukannya. Ia tetap bersikeras menyampaikan permintaan raja dan meminta Mbah Gabug sudi dipersunting Raja Gubangkala.
Menghadapi kepongahan sang patih, Mbah Gabug tetap tenang. Ia menyatakan bersedia dipersunting Raja Gubangkala, namun dengan satu syarat. Syaratnya adalah Gubangkala sanggup mengembalikan kuku (sejenis buah labu air) yang dibawa arus deras sungai Cilutung yang bermuara di sungai Cideres.
Mendapat tantangan itu, patih kembali menghadap Gubangkala. Sang raja yang angkuh itu pun bersedia meladeni tantangan kekasih hatinya, Mbah Gabug. Di sisi sungai Cilutung, keempat wanita ayu itu menyaksikan kesaktian raja Gubangkala. Mbah Gabug melempar buah kukuk ke sungai dan hanyut dibawa air deras. Gubangkala mengerahkan kesaktian untuk menarik kembali buah kukuk itu sehingga melawan arus.
Namun hingga seluruh kesaktiannya terkuras, buah itu tak kunjung kembali. Ia pun akhirnya mengaku kalah, sambil meminta Gabug untuk menarik buah kukuk yang hanyut itu. Mbah Gabug dengan tenang mengeluarkan lokcan (selendang) yang dijuluki cindewulung itu dan mengibaskannya tiga kali.
Sungguh menakjubkan, seketika buah kukuk yang telah hanyut dibawa arus itu kembali dan akhirnya loncat ke sebuah batu cadas yang berbentuk meja. Hingga kini, batu cadas ini dikenal dengan nama cadas meja dan masih bisa disaksikan di Kampung Parunggawul desa Bonang, Kecamatan Kadipaten, Kab. Majalengka, yang berbatasan dengan lokasi Keramat Marongge berada.
Nama Marongge
Seperti diceritakan kuncen Marongge, Abdul Halim, upaya menaklukkan dan mempersunting Mbah Gabug dan ketiga saudaranya ini terus berulang. Namun mereka selalu menang dan tetap ingin melajang. Konon, itu semua berkat selendang sakti berjuluk Cindewulung. Hingga suatu ketika, Mbah Gabug pergi tanpa pamit. Selama tiga tahun 41 hari Mbah Gabung menghilang.
Ketiga saudaranya mencari-cari hingga sampailah ke suatu hutan lebat. Di sana Mbah Gabug ditemukan dalam keadaan tafakur, bahkan seperti sudah hendak meninggal. Dan pada saat bersamaan, terdengarlah suara gaib. Suara itu memerintahkan tiga adik Mbah GAbung untuk mencari kilaja susu munding (buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar pentil kambing). “Buah itu diperuntukkan sebagai obat bagi Mbah Gabug. Mereka pun menemukannya, dan ramuannya diminumkan kepada Mbah Gabug,” tutur Abdul Halim.
Perlahan Mbah Gabug sembuh. Tapi terdengar lagi suara gaib. Kali ini empunya suara memperkenalkan diri dengan nama Haji Putih Jaga Riksa, penunggu Gunung Hade. Kemudian Mbah Gabug menyuruh ketiga adiknya menggali tanah bekas Mbah Gabug dahulu ditemukan terbaring. Setelah selesai, Mbah Gabug masuk ke dalamnya dan memerintah ketiga adiknya untuk menutup lubang dengan rengge (sejenis ranting bambu haur), setelah itu ketiganya disuruh pulang.
Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakaknya, ketiga saudara ini kembali ke tempat itu menjelang tengah malam. Dan mereka sungguh terkejut ketika dari tempat itu terlihat merong (cahaya memancar). Akan tetapi tubuh Mbah Gabug tidak leihatan lagi. Akhirnya nama itu hingga kini disebut Marongge. Berasal dari kata merong dan rengge. Dan sejak itu pula tempat itu dikeramatkan dan dikunjungi banyak orang yang mengalami kesusahan.
Ajian Kukuk
Menurut kuncen Abdul Halim, mendapatkan ilmu pelet Marongge harus dengan mengikuti ritual yang berpuncak pada malam Jumat kliwon. Ritual itu disebut nyacap ajian (cara memperoleh ajian). Biasanya, sejak Kamis siang para peziarah sudah berdatangan. Mereka datang dari berbagai tempat. Menjelang malam mereka melakukan tawasul sambil mengungkap hajat masing-masing di sekitar makam Mbah Gabung dengan dipimpin kuncen.
Saat tengah malam, mereka berbaris dan berjalan menuju Sungai Cilutung. Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge. Dalam kegelapan malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing, menyusuri jalan setapak, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter.
Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang diberi kuncen diiringi ungkapan agar tercapai segala keinginan. Acara berendam ini, kata Abdul Halim, merupakan ritual yang paling penting dalam prosesi mendapatkan ilmu pelet Marongge.
Dan hingga mendekati akhir prosesi, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalam, lalu dihanyutkan di sungai itu. Konon, ritual buang pakaian dalam itu sebagai bentuk membuang segala kesialan. Selepas itu, prosesi nyacap ajian ini pun selesai. Ketika keluar dari sungai, para peserta menganggapnya sebagai memasuki babak baru dalam hidupnya. “Ada semacam semangat dan keyakinan yang tumbuh. Kalau ingin jodoh mereka jadi percaya diri,” ungkap Abdul Halim.
Kabarnya, ketika berada di dalam air itu, seseorang yang beruntung kerap menemukan jodohnya seketika di tempat itu pula. Misalnya, entah kenapa tiba-tiba seseorang baik laki-laki atau perempuan bisa berkenalan dengan pasangannya. Dan selanjutnya mereka pun berjodoh. Wallahu ‘alam bissawab. ***
Ilmu pelet adalah ilmu yang sering diburu orang. Diantaranya oleh mereka yang sulit bertemu jodoh, usaha selalu rugi dan peruntungan negatif. Dan ilmu pelet Marongge, lebih dikenal sebagai pemikat asmara. Ilmu pelet ini didasar ilmu yang berasal dari Ajian Si Kukuk Mudik, milik Mbah Gabug yang terkenal pilih tanding.
Bila ditelusuri lebih jauh, Ajian Si Kukuk Mudik berasal dari legenda keramat Marongge. Marongge sendiri sebenarnya nama sebuah desa di Kecamatan Tomo, Kab Sumedang. Lokasinya di sebuah bukit yang berada di jalan raya Tolengas dan Cijeungjing, berbatasan dengan Kec. Kadipaten, Kab. Majalengka dan juga dekat bendungan Jatigede.
Menuju ke lokasi harus melalui jalan setapak yang cukup menanjak. Seratus meter kemudian terdapat kompleks pemakaman umum Desa Marongge. Di dalamnya terdapat tiga bangunan. Salah satunya paling dikeramatkan karena diyakini kuburan karuhun sebagai ujung dari asal-usul ilmu pelet Marongge. Tiada lain adalah makam Mbah Gabug, Mbah Stayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah.
Setiap hari selalu saja ada yang berziarah ke lokasi ini, kecuali Selasa. Peziarah tampak membludak bila malam Jumat kliwon tiba. Saat itulah ritual nyacap ajian ilmu pelet Marongge dilakukan. Terkadang, pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan suatu kali pernah mencapai seribu orang ketika Jumat kliwon bertepatan dengan bulan Maulud.
Mbah Gabug
Mbah Gabug adalah wanita ayu asal Mataram yang bermukim di Kampung Babakan, dekat Keramat Marongge sekarang. Di sanalah Mbah Gabung dahulu tinggal bersama tiga saudara wanitanya, Mbah Setayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah. Keempat bersaudara ini dianugerahi paras yang ayu. Bahkan kecantikan mereka terkenal ke penjuru negeri. Sehingga tidak sedikit raja, pangeran dan pemuda yang terpikat.
Namun, entah kenapa keempat gadis ayu rupawan ini senantiasa melajang. Dan itu pula yang mengundang rasa penasaran. Tersebutlah seorang raja bernama Gubangkala yang mengutus patih diiringi bala tentara untuk menemui dan melamar paksa Mbah Gabug. Tapi niat buruk itu tercium. Mbah Gabug lalu bersemadi dan mengerahkan segenap kesaktiannya.
Ketika rombongan tiba di gerbang dusun Babakan, mereka semua tertidur karena disirep Mbah Gabug. Tak berapa lama mereka dibangunkan kembali. Sang patih yang congkak, tak menyadari apa yang menimpa mereka dan pasukannya. Ia tetap bersikeras menyampaikan permintaan raja dan meminta Mbah Gabug sudi dipersunting Raja Gubangkala.
Menghadapi kepongahan sang patih, Mbah Gabug tetap tenang. Ia menyatakan bersedia dipersunting Raja Gubangkala, namun dengan satu syarat. Syaratnya adalah Gubangkala sanggup mengembalikan kuku (sejenis buah labu air) yang dibawa arus deras sungai Cilutung yang bermuara di sungai Cideres.
Mendapat tantangan itu, patih kembali menghadap Gubangkala. Sang raja yang angkuh itu pun bersedia meladeni tantangan kekasih hatinya, Mbah Gabug. Di sisi sungai Cilutung, keempat wanita ayu itu menyaksikan kesaktian raja Gubangkala. Mbah Gabug melempar buah kukuk ke sungai dan hanyut dibawa air deras. Gubangkala mengerahkan kesaktian untuk menarik kembali buah kukuk itu sehingga melawan arus.
Namun hingga seluruh kesaktiannya terkuras, buah itu tak kunjung kembali. Ia pun akhirnya mengaku kalah, sambil meminta Gabug untuk menarik buah kukuk yang hanyut itu. Mbah Gabug dengan tenang mengeluarkan lokcan (selendang) yang dijuluki cindewulung itu dan mengibaskannya tiga kali.
Sungguh menakjubkan, seketika buah kukuk yang telah hanyut dibawa arus itu kembali dan akhirnya loncat ke sebuah batu cadas yang berbentuk meja. Hingga kini, batu cadas ini dikenal dengan nama cadas meja dan masih bisa disaksikan di Kampung Parunggawul desa Bonang, Kecamatan Kadipaten, Kab. Majalengka, yang berbatasan dengan lokasi Keramat Marongge berada.
Nama Marongge
Seperti diceritakan kuncen Marongge, Abdul Halim, upaya menaklukkan dan mempersunting Mbah Gabug dan ketiga saudaranya ini terus berulang. Namun mereka selalu menang dan tetap ingin melajang. Konon, itu semua berkat selendang sakti berjuluk Cindewulung. Hingga suatu ketika, Mbah Gabug pergi tanpa pamit. Selama tiga tahun 41 hari Mbah Gabung menghilang.
Ketiga saudaranya mencari-cari hingga sampailah ke suatu hutan lebat. Di sana Mbah Gabug ditemukan dalam keadaan tafakur, bahkan seperti sudah hendak meninggal. Dan pada saat bersamaan, terdengarlah suara gaib. Suara itu memerintahkan tiga adik Mbah GAbung untuk mencari kilaja susu munding (buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar pentil kambing). “Buah itu diperuntukkan sebagai obat bagi Mbah Gabug. Mereka pun menemukannya, dan ramuannya diminumkan kepada Mbah Gabug,” tutur Abdul Halim.
Perlahan Mbah Gabug sembuh. Tapi terdengar lagi suara gaib. Kali ini empunya suara memperkenalkan diri dengan nama Haji Putih Jaga Riksa, penunggu Gunung Hade. Kemudian Mbah Gabug menyuruh ketiga adiknya menggali tanah bekas Mbah Gabug dahulu ditemukan terbaring. Setelah selesai, Mbah Gabug masuk ke dalamnya dan memerintah ketiga adiknya untuk menutup lubang dengan rengge (sejenis ranting bambu haur), setelah itu ketiganya disuruh pulang.
Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakaknya, ketiga saudara ini kembali ke tempat itu menjelang tengah malam. Dan mereka sungguh terkejut ketika dari tempat itu terlihat merong (cahaya memancar). Akan tetapi tubuh Mbah Gabug tidak leihatan lagi. Akhirnya nama itu hingga kini disebut Marongge. Berasal dari kata merong dan rengge. Dan sejak itu pula tempat itu dikeramatkan dan dikunjungi banyak orang yang mengalami kesusahan.
Ajian Kukuk
Menurut kuncen Abdul Halim, mendapatkan ilmu pelet Marongge harus dengan mengikuti ritual yang berpuncak pada malam Jumat kliwon. Ritual itu disebut nyacap ajian (cara memperoleh ajian). Biasanya, sejak Kamis siang para peziarah sudah berdatangan. Mereka datang dari berbagai tempat. Menjelang malam mereka melakukan tawasul sambil mengungkap hajat masing-masing di sekitar makam Mbah Gabung dengan dipimpin kuncen.
Saat tengah malam, mereka berbaris dan berjalan menuju Sungai Cilutung. Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge. Dalam kegelapan malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing, menyusuri jalan setapak, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter.
Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang diberi kuncen diiringi ungkapan agar tercapai segala keinginan. Acara berendam ini, kata Abdul Halim, merupakan ritual yang paling penting dalam prosesi mendapatkan ilmu pelet Marongge.
Dan hingga mendekati akhir prosesi, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalam, lalu dihanyutkan di sungai itu. Konon, ritual buang pakaian dalam itu sebagai bentuk membuang segala kesialan. Selepas itu, prosesi nyacap ajian ini pun selesai. Ketika keluar dari sungai, para peserta menganggapnya sebagai memasuki babak baru dalam hidupnya. “Ada semacam semangat dan keyakinan yang tumbuh. Kalau ingin jodoh mereka jadi percaya diri,” ungkap Abdul Halim.
Kabarnya, ketika berada di dalam air itu, seseorang yang beruntung kerap menemukan jodohnya seketika di tempat itu pula. Misalnya, entah kenapa tiba-tiba seseorang baik laki-laki atau perempuan bisa berkenalan dengan pasangannya. Dan selanjutnya mereka pun berjodoh. Wallahu ‘alam bissawab. ***
Asal Mula Kota Bojonegoro
Sekarang mari kita bicara soal kota yang dimana gue di lahirkan dan di besarkan hingga sekarang ini tapi sayangnya sekarang saya sekolah di luar kota atau tepatnya di SMK TELKOM Malang.
Di waktu masa Maha Raja Balitung (th – 910 M) yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bojonegoro belumlah ada. Yang ada hanyalah hutan luas yang diimpit oleh pegunungan kapur di sebelah selatan dan utara yang dilewati sungai bengawan solo dan sungai brantas.
Hutan ini baru ditempati kira-kira tahun 1000 masehi oleh orang-orang Keratin Madang Kemulan. Awal mulanya hutan ini diberi nama alas tuo (hutan tua), namun setelah masyarakat imigran dari Jawa Tengah datang, mulailah banyak didirikan desa-desa di sekitar hutan. Diantaranya adalah Desa Gadung, Desa Dander dan sebagainya.
Para pendatang yang mendirikan desa-desa itu membuat masyarakat sendiri berdasarakan hubungan keluarga. Di tiap-tiap masyarakat tersebut terdapat kepala desa. Di antara kepala desa tersebut, ada yang bernama Ki Rahadi yang menguasai Dukuh Randu Gempol. Akibat masuknya kebudayaan hindu yang di terima Ki Rahadi, maka cara pemerintahan yang sedang ia pegang cenderung meniru cara pemerintahan hindu.
Kemudian nama Ki Raharadi di ubah menjadi Rakai Purnawakilan. Dukuh Randu Gempol diubah menjadi Kerajaan Hurandhu Purwo (sekarang tempatnya di Plesungan, Kapas). Beliau mengangkat dirinya sendiri menjadi raja yang mempunyai aliran Syiwa. Kerajaan diperluas dari Gunung Pegat hutan Babatan (sekarang Babat), sampai Purwosari Cepu dan Jatirogo (Tuban) sampai layaknya benteng pertahanan kerajaan. Pusat kerajaan berlokasi di daerah Kedaton (sekarang di daerah Kapas).
Jalan propinsi kota Bojonegoro antara lain ; Jl. Gajah Mada, Dipenogoro, Kartini, AKBP M. Sueroko sampai Jalan Jaksa Agung Suprapto. Jalan-jalan tersebut dulunya masih berupa sungai besar yang sekarang dinamakan Sungai Bengawan Solo yang waktu itu ramai sekali digunakan untuk perdagangan. Dulu, raja senang sekali berburu, dan saat ini tempat yang dulu sering digunakan sebagai tempat berburu raja berada di Desa Padang dan Sumberarum. Kerajaan Hurarandu Purwa musnah bersamaan dengan hilangnya raja rakai pikatan secara turun menurun.
Di awal abad 19, Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Di tahun 1824 ada 3 daerah di sekitar b\Bojonegoro yang belum ikut dalam pemerintahan Belanda yaitu daerah:
1. Kabupaten Mojoranu (dander) yang dipimpin oleh bupati R.T. Sosrodiningrat.
2. Kabupaten Padangan (desa pasinan) yang di pimpin oleh bupati R.T. Prawirogdo
3. Kabupaten Baurno (desa kauman) yang dipimpin oleh Bupati R.T. Honggrowikomo
Ketiga bupati di atas, berada di bawah pengawasan Bupati Madiun yang bernama R.T Ronggo yang mewakili Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Waktu itu nama Bojonegoro belum ada. Pemerintahan Belanda menginginkan ketiga kabupaten dijadikan satu dan dibentuk sebuah kabupaten baru yang ikut dalam wilayah pemerintahan Belanda. Untuk keperluan tersebut, akhirnya tiga bupati di atas diajak bermusyawarah di daerah Padangan. Hal ini terjadi pada tahun 1826. Akan tetapi ketidakhadiran Bupati Mojoranu yaitu R.T Sosrodinigrat yang sedang berpergian ke Desa Cabean di daerah Rejoso Nganjuk, dapat dijadikan alasan untuk mengurungkan niat penggabungan kabupaten tersebut.
Selama perginya Bupati Mojoranu, pemerintahan Kabupaten Mojoranu diserahkan kepada Pateh Demang R. Sumosirjo beserta putra-putrinya yaitu R.M Sosrodilogo, dan R.M Surratin yang waktu itu masih bertempat tinggal di daerah Nganjuk, dan masih belajar agama di daerah Ngithitik.
Keinginan Pemerintahan Belanda untuk menyatukan tiga daerah tersebut akhirnya gagal. Kemudian Pemerintah Belanda memasang rambu-rambu di wilayah Mojoranu, dan membuat sebuah daerah tandingan yang di beri nama Kabupten Rajekwesi, sekaligus membuat penjara. Pemerintahan Belanda mengangkat R.T Purwonegoro menjadi Bupati Rajekwesi yang waktu itu masih berstatus sebagai Bupati Probolinggo, namun hanya untuk semestara. Pusat kabupaten waktu itu berlokasi di daerah Ngumpak Dalem.
Karena pemerintahan R.T Purwonegoro di Rejekwesi tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh Belanda, maka Belanda mengangkat R.T Joyonegoro, anak R.T Purwonegoro untuk menggantikan bapaknya. Di masa pemerintahan Belanda, Kapubaten Mojoranu dianggap tidak ada. Melihat kenyataan yang demikian, R.T Sosrodilogo akhirnya mengadakan hubungan dengan Pangeran Dipenogoro di Mataram.
Disuatu waktu R.T Joyonegoro malihat R.M Suratin, dan R.T Sosrodiningrat sebagai Bupati Mojoranu memakai kebesan kerajaan. Saat itu juga R.M Suratin ditangkap dan dijebloskan ke penjara Rajekwesi. Kejadian itu diketahui R.T Sorodilogo. Setelah berunding dengan Patih Demangan R. Sumodirojo dan Demang Kapoh, maka R.T Sosrodilogo meminta bantuan kepada Pengeran Dipenogoro dari mataram. Akhirnya dikirimlah bala bantuan sebanyak 40 orang.
Kejadian tersebut sengaja di buat hingga akhirnya terjadi peperangan kecil diantara Mojoranu dan Rajekwesi. Ke-40 orang dari Mataram kemudian ditawan dan Pateh Demangan R. Sumodirjo gugur dan dimakamkan di Desa Bendo (kapas). R.T Sosrodilogo juga dimasukan ke penjara dan dituduh sebagai pemberontak. Dipenjara Rajekwesi, R.T Sosrodilogo bertemu dengan adiknya R.M Suratin. Keduanya bekerjasama untuk mengadakan pemberontakan dengan perencanaan yang lebih matang dan rapi.
Akhirnya keduanya bisa lepas dari penjara dan peperangan dimulai kembali. Kabupaten Rajekwesi dikepung dari berbagai arah. Dalam peperangan ini Patih Somodikaran gugur dan dimakamkan di desa yang sekarang disebut Desa Sumodikaran (dander). Kekuatan Kerajaan Rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu terus maju dan mendesak pasukan rajekwesi. Pada akhirnya Rajekwesi pun hancur.
Pemerintahan Belanda mendirikan markas kecil dan pos-pos pertahanan di daerah yang masih mereka kuasai, diantaranya; Rembang Blora. Rajekwesi, Bancar, Jatirogo, Planturan, Babat, Kapas dll. Pasukan Belanda semakin meningkatkan pertahanannya untuk mengimbangi pemberontakan rakyat. Sementara itu pahlawan R.T Sosrodilogo di rajekwesi dan sekitarnya .
Kemenangan Sosrodilogo bersama pengikut merebut rajekwesi akhirnya menimbulkan semangat perlawanan terhadap belanda di daerah lain. Kota Baorno yang diduduki belanda yang berada di perbatasan Surabaya dan tuban meraka kewalahan dan terancam. Pasukan rakyat juga menguasai daerah selatan padangan. Diteruskan kemudian akanmenyerang kota ngawi. Bisa dikatakan diakhiri. Tahun 1827 di daerah rajekwesi di penuhi dengan pemberontakan dan peperangan.
Pahlawan rakyat melawan pemrenthan belnda si awali dari pecahnya oerang di penogoro di mataram pda tahun 1825. R.T Sosrodilogo yang memimpin pasukannya merebut rejekwesi sempat juga di jadikan perwira pasukan kraton Yogyakrata dan pangeran dipenogoro. Perlawanan rakyat juga dialami di kota blora dipimpin oleh Raden Ngabel Tortonoto yang akhirnya menguasai kota blora.
Akhirnya kota rajekwesi dibakar hangus oleh pasukan mojoranu R.T Sosrodilogo bersama pasukannya menguasai semua daerah sekitar kabupaten rejekwesi. Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri meminta ke bupati sedayu. Sebelum sampai kabupaten sedayu teryata R.T joyonegoro bertemu dengan bupati sedayu di bengawan solo yang sudah siap dengan bala tentaranya yang akan membantu R.T joyonegoro.
Kabupaten sedayu merupakan sekutu rajekwesi yang sama-sama mengakui kekuasaan pemerentahan belanda. Di pinggir daerah rajekwesi bupati sedayu bersama pasukanya mendirikan markas-marakas kecil sementara pasukan lainya diperentah untuk menyerbu kabupaten mojoranu. Sesampai di kabupaten mojoranu pasukan sedayu bertempur dengan pasukan mojoranu. Pasukan sedayu yang berasal dari orang-orang masura dan makasar akhirnya terdesak dan kembali ke markasanya.
Kota rajekwesi akhirnya diduduki oleh R.T Sosrodilogo salah satu kesalahan besar pasukan rakyat adalah setelah mengalami kemenangan dalam peperangan. Banyak dari pasukan itu mau bersenang-senang dahulu sebelum meneruskan peperangan selanjutnya. Hal ini di manfaatkan oleh belanda untuk mengumpulkan dan menata kekuatan kembali.
Bantuan dari belanda mengalir terus menerus ke rembang dan rejekwesi. Pasukan belandaa dari padangan akhirnya dikirim masuk ke kota rajekwesi pasukan rakyat semakin terdesak. mojoranu dapat dikalahkan R.T Sosrodilogo bersama pasukan yang tersisa melarikan diri.
Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T Sorodilogo malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut R.T Sosrodilogo menjadi lemah. Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan lain-lain dianggap rampung.
R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi buronan oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kesua orang tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat R.T Sosrodilogo melarikan diri ke jawa tengah dan bergabung dalam peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal 3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada belanda.
Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T Sosorodilogo dan bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka bojono) untuk merayakan keberhasilan mengalahkan pasukan mojoranu. Saat itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro menjadi bupati bojonegoro. Nama kabupaten bojonegoro di ambil untuk menggantikan kerajaan rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang dalam perayaan tersebut. Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus De Kock dengan perangkat Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).
R.T Joyonegoro Bupati Bojonegoro 1827-1844.
Berdasarkan cerita pusat kabupaten rejekwesi dulunya terletak di daerah Ngumpak Dalem, maka setelah peperangan dipindah ke daerah boghadung yang terletak di sebelah utara rajekwesi. Berdasarkan pertimbangan pada pejabat waktu itu. Tidak baik mendirikan Negara di lokasi yang sama dengan alas an rejekwesi pernah kalah dalam peperangan mojoranu. Desa Boghadung yang terletak sebelah utara bengawan solo masih ikut darah tuban waktu itu.
Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa Boghadung yang tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah di Boghadung ini kabupaten rajekwesi berubah menjadi nama Bojonegoro.
Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari kata Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita lain yang mengatkan bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang artinya SUGU atau tanah yang diberikan untuk Negara dari daerah Tuban. R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan pension menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844.
dan sekarang ini bupati bojonegoro yang peduli dan mau terjun langsung ke masyarakat desa dan mampu menunjukan perkembangan masyarakat-masyarakat desa dengan sangat pesat dan insyaallahtidah lagi GAPTEK adalah KANG YOTO
dan sekarang ini bupati bojonegoro yang peduli dan mau terjun langsung ke masyarakat desa dan mampu menunjukan perkembangan masyarakat-masyarakat desa dengan sangat pesat dan insyaallahtidah lagi GAPTEK adalah KANG YOTO